Hukum Bersiwak Ketika Berpuasa Bagian 22
HUKUM BERSIWAK KETIKA BERPUASA
وَهَلْ يُكْرَهُ لِلصَّائِمِ بَعْدَ الزَّوَالِ فِيْهِ خِلاَفُ الرَّاجِحُ فِي الرَّافِعِيُّ وَالرَّوْضَةِ أَنَّهُ يُكْرَهُ
Dan apakah dimakruhkannya untuk orang yang berpuasa setelah tergelincirnya mata hari, didalamnya ada ada perbedaan pendapat, maka yang Rajih dalam kitabnya Ar-Rafi'i dan dalam kitab 《 AR-RAUDHAH 》 bahwasannya bersiwak setelah tergelincirnya matahari adalah di makruhkannya
لِقَوْلِهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ : 《 لَخُلُوْفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللّٰهِ مِنْ رِيْحِ الْمِسْكِ 》
Karena sabdanya Nabi saw : 《 sungguh bau mulut orang yang berpuasa, lebih harum di sisi Allah, dari bau harumnya minyak misik 》. [ HR. Bukhari Dan Muslim Dan Tirmidzi Dan Nasa'i Dan Ibnu Majah Dan Ad-Daramiy Dan Imam Malik Dan Imam Ahmad dalam Kitab Musnadnya ]
وَفِي رِوَايَةِ : 《 يَوْمَ الْقِيَامَةِ 》
Dan dalam riwayat lain : 《 pada hari Qiamat 》
KIFAYATUL AKHYAR HALAMAN 32
وَالْخُلُوْفُ بِضَمِّ الْخَاءِ وَاللَّامِ هُوَ التَّغَيُّرَ وَخَصَّ بِمَا بَعْدَ الزَّوَالِ لِأَنَّ تَغَيُّرِ الْفَمِ بِسَبَبِ الصَّوْمِ حِيْنَئِذٍ يَظْهَرُ
Dan lafadz 《 AL-KHULUUFU 》 huruf Kha' dan Lam di baca dengan Dammah dan makna lafadz 《 AL-KHULUUFU 》 perubahan. Dan dikhususkan dengan apa yang berubah setelah tergelincirnya matahari karena sesungguhnya perubahan mulut dengan sebab berpuasa pada waktu itu adalah suci
فَلَوْ تَغَيَّرَ فَمُهُ بَعْدَ الزَّوَالِ بِسَبَبِ آخَرَ كَنَوْمٍ أَوْ غَيْرِهِ فَاسْتَاكَ لِأَجَلِ ذَلِكَ لَا يُكْرَهُ وَقِيْلَ لَا يُكْرَهُ الْاِسْتِيَاكُ مُطْلَقًا
Maka seandainya berubah bau mulutnya seseorang setelah tergelincirnya matahari dengan sebab yang lain, seperti tidur atau lainnya, maka bersiwak karena yang demikian itu, tidak di makruhkannya dan di katakan tidak di makrukan bersiwak secara mutlak
وَبِهِ قَالَ الْأَئِمَّةَ الثَّلَاثَةَ وَرَجَّحَهُ النَّوَوِيُّ فِي شَرْحِ الْمُهَذَّبِ وَقَالَ القَاضِي حُسَيْنُ يُكْرَهُ فِي الْفَرْضِ دُوْنَ النَّفْلِ خَوْفًا مِنَ الرِّيَاءِ
Dan dengannya berkata para Imam yang tiga dan di tarjihnya oleh Imam Nawawi dalam kitab 《 SYARAH MUHADZDZAB 》 dan berkata Al-Qadhi Husain adalah di makruhkannya bersiwak pada puasa fardu dan tidak di makruhkan pada puasa sunnah karena di takutkan dari riya'
وَقَوْلُ الْمُصَنِّفِ لِلصَّائِمِ يُؤْخَذُ مِنْهُ أَنَّ الْكَرَاهَةَ تَزُوْلُ بِغُرُوْبِ الشَّمْسِ وَهَذَا هُوَ الصَّحِيْحُ فِي شَرْحِ الْمُهَذَّبِ
Dan perkataan Al-Mushonnif : { untuk orang yang berpuasa } di ambil darinya bahwa kemakruhan bersiwak akan hilang dengan tenggelamnya matahari dan ini adalah yang Shahih dalam kitab 《 SYARAH MUHADZDZAB 》
وَقِيْلَ تَبْقَى الْكَرَاهَةُ إِلَى الْفِطْرَ، وَاللّٰهُ أَعْلَمْ
Dan di katakan ( pendapat yang lemah) adalah akan tersisa kemakruhannya itu sampai iedul fitrih, dan Allah yang lebih mengetahui
KIFAYATUL AKHYAR HALAMAN 33
Wallahu A'lam Bish-Showab